.

Minggu

Menggugat Perjanjian Celah Timor

Kasus Hukum Internasional, Dosen pengajar : Sri Rahayu Octoberina S.W., SH., MPA.

Sebagai negara yang berbatasan dengan Timor Timur dan Australia di Laut Timor, seharusnya Indonesia mempunyai hak pengelolaan bersama atas minyak dan gas bumi (migas) di Celah Timor. Namun pada 1 Juni 2000 Menteri Luar Negeri (Menlu) Indonesia melakukan pertukaran nota diplomatik dengan Menlu Australia tentang pengakhiran Traktat Celah Timor. Sejak saat itu Indonesia kehilangan haknya atas penambangan migas di Celah Timor.

Indonesia selalu menjadi pihak yang dirugikan dalam perjanjian batas maritim dengan Australia. Pulau Pasir atau yang oleh Australia dinamakan Pulau Ashmore sudah lama dimanfaatkan sebagai tempat mencari nafkah sekaligus tempat istirahat nelayan kita setelah melakukan penangkapan ikan di Laut Timor. Nelayan yang sering berkunjung ke Pulau Pasir berasal dari Pulau Rote, Flores, Buton, Sabu, Timor, Alor, Sulawesi dan Maluku.

Perjanjian perbatasan Indonesia – Australia harus dikaji kembali dengan menggunakan ketentuan yang tertuang dalam UNCLOS (United Nation Convention on the Law of the Sea) 1982. UNCLOS merupakan perubahan dan kodifikasi dari ketentuan yang telah ada.

Kerangka pengaturannya sangat komprehensif dan meliputi hampir semua kegiatan di laut sehingga dianggap sebagai a constitution for the ocean.

Menciptakan Keadilan

Hal-hal yang harus dikaji sebagai penyempurnaan perjanjian batas maritim dalam rangka menciptakan keadilan di antaranya:

Pertama, kajian teknis mengenai struktur geologi dasar Laut Timor. Hal ini perlu karena UNCLOS 1982 lebih rinci mengatur landas kontinen, khususnya mengenai pembuktian ilmiah tentang struktur geologi dari dasar laut dan tanah di bawahnya.

Informasi yang didapat dari Ikatan Ahli Geologi Indonesia, landas kontinen Indonesia dan Australia adalah satu yang dicirikan dengan kesamaan jenis bebatuan, morfologi pantai, dan pulau serta flora-fauna, bukannya dua landas kontinen yang berbeda seperti argumen Australia selama ini.

Sehingga Australia tidak dapat seenaknya menguasai 85% Laut Timor beserta seluruh kekayaan sumber daya alamnya. Dengan data tersebut dapat dikaji ulang perjanjian batas landas kontinen yang ditandatangani 18 Mei 1971 dan 9 Oktober 1972.

kedua perjanjian batas landas kontinen ini berdasar pada Konvensi Jenewa 1958 yang menggunakan kedalaman (isobath 200 meter) sebagai batu pijakan pengaturan. Perjanjian landas kontinen ini merugikan Indonesia, karena kondisi geografis dasar laut Indonesia agak curam sehingga garis batas yang disepakati lebih menjorok ke wilayah pantai Timor Barat (Indonesia).

Padahal, batas landas kontinen pada UNCLOS 1982 ditentukan hingga jarak 200 mil laut yang merupakan kelanjutan alamiah wilayah daratannya. Sesuai UNCLOS 1982, negara pantai dapat mengklaim landas kontinennya hingga jarak 350 mil.

Pemerintah Indonesia harus mengkaji kembali perjanjian batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang ditandatangani 14 Maret 1997. Karena keduanya telah meratifikasi UNCLOS 1982, maka perjanjian batas ZEE pun menggunakan ketentuan UNCLOS 1982 sebagai acuan.

Perbedaan penggunaan dasar aturan ini dikhawatirkan menimbulkan konflik di kemudian hari, di mana perjanjian batas landas kontinen menggunakan Konvensi Jenewa 1958, sedangkan perjanjian batas ZEE menggunakan UNCLOS 1982.

Dalam UNCLOS 1982 wilayah ZEE dan landas kontinen tunduk pada aturan yang berbeda. Namun, dalam perkembangan, penyelesaian batas maritim antara ZEE dan landas kontinen cenderung satu garis (Forum Hukum, Vol 2, No.2/2005).

Kedua, mengumpulkan bukti sejarah. Hingga kini, Pulau Pasir berada di bawah kekuasaan Australia. Padahal, jauh sebelum Kapten Ashmore menemukan Pulau Pasir dan Inggris mengklaimnya pada 1878, sejak 609 nelayan Indonesia de facto telah menguasai pulau itu.

Di Laut Utara

Kepemilikan Indonesia atas pulau itu diperkuat hasil kajian Mcknight (1976). Menurut arsip Belanda, seorang saudagar Tionghoa diberi izin pada 1751 mencari kulit penyu di gugusan pulau itu. Jelas kegiatan perekonomian masyarakat Indonesia jauh lebih dulu dibandingkan dengan kedatangan Kapten Ashmore. Bukti sejarah itu diharapkan dapat memperkuat argumen Indonesia.

Ketiga, pengelolaan bersama. Lepasnya Timor Timur dari RI pada tahun 1999 membuat “bodoh” pemerintah. Betapa tidak, pada 1 Juni 2000 pemerintah mengakhiri Traktat Joint Development atas migas di Celah Timor. Apakah pemerintah tidak pernah tahu mengenai penyelesaian sengketa landas kontinen di Laut Utara antara Jerman dan Belanda di satu sisi dan Jerman dengan Denmark di sisi lain? Sengketa ini dikenal dengan “North Sea Continental Shelf Case “ 1969.

Lepasnya Timor Timur tidak berarti hak-hak berdaulat Indonesia atas migas di Laut Timor ikut hilang, khususnya di Celah Timor. Hal ini disebabkan, pantai Timor Barat NTT berbatasan langsung dengan Celah Timor. Nota diplomatik yang merugikan Indonesia itu harus dipertanyakan, mengapa diplomat kita tidak berdasar pada UNCLOS 1982. Nampaknya pemerintah lebih memperhatikan unsur politis.

Akibatnya, Indonesia kehilangan sumber daya migas yang mencapai sekitar 5.081 juta barel. Selain itu, hak masyarakat Indonesia menangkap ikan di sekitar Pulau Pasir terberangus. Mereka yang menangkap ikan di sekitar Pulau Pasir, tidak segan-segan ditembak aparat Australia dan menenggelamkan perahu nelayan. Indonesia telah kehilangan potensi sumber daya alam.
(Sumber : Missing - Written Only at April 19th, 2006 by Kang Ihin )