.

Minggu

Pidana Tutupan Dalam Peristiwa 3 Juli 1946

Tugas ini merupakan bagian dari mata kuliah Penologi & Kemasyarakatan, Dosen pengajar : Djisman Samosir, SH,MH.

DAFTAR ISI

I. Pendahuluan

A. Macam – macam Hukum Pidana
i). Pidana dalam KUHP
ii). Tujuan Pemidanaan

B. Latar Belakang Pidana Tutupan
i). Muncul dari Peristiwa 3 Juli 1946
ii).Putusan dan Relevansi Terhadap Pelaku Terkait Peristiwa 3 Juli 1946

C. Penerapan Pidana Tutupan
i). Prospeksi Pidana Tutupan
ii) Relevansi Pidana Tutupan dengan Tujuan Pemidanaan

II. Penutupan

A. Kesimpulan
B. Rumusan Undang – Undang No. 20 Tahun 1946

III. Daftar Pustaka
-------------

I. Pendahuluan

Pada dasarnya seseorang yang melakukan tindak pidana dikenakan suatu akibat hukum berupa pidana. Pidana yang dikenakan itu sebagaimanapun juga merupakan suatu penderitaan yang dirasakan tidak enak bagi yang bersangkutan, baik pada waktu dijalani maupun setelahnya dengan terlekatnya “cap” mantan narapidana. Mengingat sifat pidana yang demikian itu, tepatlah jika seorang ahli hukum bernama Packer berpendapat bahwa pidana merupakan salah satu masalah pokok dalam hukum pidana, di samping kejahatan dan kesalahan. Secara lengkap ia menyatakan dalam bukunya yang berjudul The Limits of Criminal Sanction menyatakan bahwa hukum pidana yang rasional didasarkan pada tiga konsep yaitu kejahatan, kesalahan dan pidana. Ketiga konsep tersebut melambangkan tiga problem dasar dari hukum pidana substansi, yaitu (1) Perbuatan yang bagaimana yang ditentukan sebagai tindak pidana; (2) Pembatasan atau ukuran-ukuran apa yang harus dibuat sebelum seseorang dinyatakan melakukan tindak pidana; (3) Apa yang harus dilakukan terhadap orang-orang yang dinyatakan melakukan tindak pidana.

A. Macam-macam Hukum Pidana

i). Pidana dalam KUHP
Pidana merupakan salah satu dari tiga masalah pokok dalam hukum pidana, selain masalah pertanggungjawaban pidana, dan masalah tindak pidana. Pidana menjadi ciri khusus dalam hukum pidana dan membedakan dari jenis hukum yang lain. Pidana berarti nestapa, sengsara atau penderitaan yang dikenakan terhadap pelaku tindak pidana. Dalam KUHP, pidana diatur dalam Bab II Pasal 10-43. Berdasarkan Pasal 10 KUHP jenis-jenis pidana adalah sebagai berikut:
  • Pidana pokok, yang terdiri dari:

1. pidana mati
2. pidana penjara
3. pidana kurungan
4. pidana denda
5. pidana tutupan (merupakan jenis pidana yang “baru”, karena ada dengan UU Nomor 20 Tahun 1946 tentang Hukuman Tutupan).
  • Pidana tambahan, yang terdiri dari:

1. pencabutan hak-hak tertentu
2. perampasan barang-barang tertentu
3. pengumuman putusan hakim

ii). Tujuan Pemidanaan
Menentukan tujuan pemidanaan menjadi persoalan yang cukup dilematis, terutama dalam menentukan apakah pemidanaan ditujukan untuk melakukan pembalasan atas tindak pidana yang terjadi atau merupakan tujuan yang layak dari proses pidana adalah pencegahan tingkah laku yang anti sosial. Menentukan titik temu dari dua pandangan tersebut jika tidak berhasil dilakukan memerlukan formulasi baru dalam sistem atau tujuan pemidanaan dalam hukum pidana. Pemidanaan mempunyai beberapa tujuan yang bisa diklasifikasikan berdasarkan teori-teori tentang pemidanaan. Teori tentang tujuan pemidanaan yang berkisar pada perbedaan hakekat ide dasar tentang pemidanaan dapat dilihat dari beberapa pandangan. Herbert L. Packer menyatakan bahwa ada dua pandangan konseptual yang masing-masing mempunyai implikasi moral yang berbeda satu sama lain, yakni pandangan retributif dan pandangan utilitarian.
- Pandangan retributif mengandaikan pemidanaan sebagai ganjaran negatif terhadap perilaku menyimpang yang dilakukan oleh warga masyarakat sehingga pandangan ini melihat pemindanaan hanya sebagai pembalasan terhadap kesalahan yang dilakukan atas dasar tanggung jawab moralnya masing-masing.
- Pandangan untilitarian melihat pemidanaan dari segi manfaat atau kegunaannya dimana yang dilihat adalah situasi atau keadaan yang ingin dihasilkan dengan dijatuhkannya pidana itu. Di satu pihak, pemidanaan dimaksudkan untuk memperbaiki sikap atau tingkah laku terpidana dan di pihak lain pemidanaan itu juga dimaksudkan untuk mencegah orang lain dari kemungkinan melakukan perbuatan yang serupa. Pandangan ini dikatakan berorientasi ke depan dan sekaligus mempunyai sifat pencegahan.

B. Latar Belakang Pidana Tutupan

i). Muncul dari Peristiwa 3 Juli 1946
Sebagaimana diketahui, pidana tutupan sebagai salah satu jenis pidana pokok belum dikenal dalam Wetboek Van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (WvSNI) yang diberlakukan di Belanda sejak 1 Januari 1918. Sementara itu pidana tutupan baru diadakan pada tanggal 30 Oktober 1946 berdasarkan Undang-undang No. 20 Tahun 1946 tentang penambahan jenis hukuman pokok dengan hukuman tutupan. Apabila diteliti ternyata dari ketentuan Undang-undang No. 20 tahun 1946 tersebut belum terlihat apa alasan atau latar belakang diadakannya jenis pidana tutupan tersebut. Tetapi bagaimanapun juga diadakannya jenis pidana tutupan, bukan tanpa sebab. Dalam penjelasan Undang-undang No. 20 Tahun 1946 antara lain disebutkan :
“ Peristiwa-peristiwa yang terjadi di lapangan politik pada waktu belakangan ini memberi keinsyafan kepada Pemerintah, bahwa jenis hukuman pokok yang ada dalam KUHP yang sekarang berlaku, tidaklah lengkap adanya dan tidak pula mencukupi kebutuhan.”
Sejarah singkat tentang Peristiwa 3 Juli 1946, yaitu merupakan suatu percobaan perebutan kekuasaan atau kudeta yang dilakukan oleh pihak oposisi - kelompok Persatuan Perjuangan - terhadap pemerintahan Kabinet Sjahrir II di Indonesia. Usaha yang dimotori kelompok Tan Malaka ini maksudnya mendesak Presiden agar mau mengganti kabinet. Karena Kabinet Sjahrir dianggap terlalu banyak memberikan konsesi kepada Belanda. Apalagi setelah pidato Bung Hatta yang membocorkan bahwa akan diadakan perundingan baru dengan Belanda dimana antara lain akan dicapai kesepakatan wilayah Republik Indonesia akan meliputi sebatas Jawa dan Sumatera saja. Bagi kelompok Tan Malaka yang menginginkan kemerdekaan 100 % atau tidak ada kompromi dengan pihak Imperialis dan Kolonialis itu, kebijaksanaan pemerintah yang dianggap mau menerima tekanan luar itu, harus dibereskan. Maka kaum militer bekerja sama dengan kaum politik untuk melakukan apa yang dinamakan "Peristiwa 3 Juli".

Pada 23 Maret 1946, tokoh-tokoh kelompok Persatuan Perjuangan - antara lain Tan Malaka, Subardjo, dan Sukarni - ditangkap dengan tuduhan bahwa kelompok ini berencana untuk menculik anggota-anggota kabinet. Pada tanggal 27 Maret 1946, tuduhan tersebut menjadi kenyataan. Perdana Menteri Sutan Sjahrir dan beberapa anggota kabinet diculik oleh orang-orang yang tidak dikenal. Pada tanggal 28 Juni 1946, Presiden Soekarno menyatakan keadaan bahaya di Indonesia. Keesokan harinya, seluruh kekuasaan pemerintahan diserahkan kembali kepada Presiden Republik Indonesia. Upaya himbauan Soekarno melalui media massa akhirnya berhasil, karena beberapa hari setelah itu seluruh korban penculikan dibebaskan kembali.

Tanggal 3 Juli 1946, Mayor Jendral Sudarsono, pelaku utama penculikan yang sehaluan dengan kelompok Persatuan Perjuangan, menghadap Soekarno bersama beberapa rekannya dan menyodorkan empat maklumat untuk ditandatangani Presiden, yang menuntut agar Presiden memberhentikan Kabinet Sjahrir II Presiden menyerahkan pimpinan politik, sosial, dan ekonomi kepada Dewan Pimpinan Politik . Presiden mengangkat 10 anggota Dewan Pimpinan Politik yang nama-namanya dicantumkan dalam maklumat Presiden mengangkat 13 menteri negara yang nama-namanya dicantumkan dalam maklumat Soekarno tidak menerima maklumat tersebut dan memerintahkan penangkapan para pengantar maklumat. Empat belas orang yang diduga terlibat dalam upaya kudeta diajukan ke Mahkamah Tentara Agung. Tujuh orang dibebaskan, lima orang dihukum 2 sampai 3 tahun, sedangkan Sudarsono dan Muhammad Yamin dijatuhi hukuman selama empat tahun penjara.Dua tahun kemudian, pada tanggal 17 Agustus 1948, seluruh tahanan Peristiwa 3 Juli 1946 dibebaskan melalui pemberian grasi presiden.

ii).Putusan dan Relevansi Terhadap Pelaku Terkait Peristiwa 3 Juli 1946
Dalam Peristiwa 3 Juli 1946 ini, persidangan dilakukan oleh Mahkamah Tentara Agung. Karena didasarkan pada Pasal 4 dan 5 Undang-undang No.7 Tahun 1946 yang para pelaku terkait Peristiwa 3 Juli 1946 merupakan yustisiabel Peradilan Tentara. Setelah Hakim melakukan beberapa pertimbangan hingga 30 kali dan memakan waktu sekitar 4 bulan, akhirnya Mahkamah memutuskan :
- Membebaskan terdakwa-terdakwa Sayuti Melik, Pandu Kartawiguna, Surip Suprastio, Sumantoro, R. Joyopranoto, R.P Supadno Suryodiningrat dan Marlan, karena tidak terbukti kesalahannya.
- Mempersalahkan terdakwa-terdakwa Mayor Jenderal R.P Soedarsono Dan Muhamad Yamin melakukan kejahatan “memimpin percobaan untuk menggulingkan pemerintahan yang sah” dan menghukum mereka dengan pidana tutupan, masing-masing selama empat tahun dipotong masa tahanan.
- Mempersalahkan terdakwa-terdakwa Ahmad Subardjo, Iwa Kusuma Sumantri, R. Sundoro Sudyarto
- Martoatmodjo, Buntaran Martoatmodjo, dan Muhamad Saleh melakukan kejahatan “Percobaan untuk menggulingkan Pemerintahan yang sah” dan menghukum mereka dengan pidana tutupan : Ahmad Subardjo dan Iwa Kusuma Sumantri selama 3 tahun; R. Sundoro Budhyarto Martoatmodjo selama 3 tahun 6 bulan; R. Buntaran Martoatmodjo selama 2 tahun dan Muhamad Saleh selama 2 tahun 6 bulan, masing-masing dipotong masa tahanan.

Apabila putusan Mahkamah Tentara Agung tersebut diperhatikan, maka ada dua hal yang menarik yaitu tentang pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana tutupan dan tentang amar putusannya. Mengenai pertimbangan Majelis Hakim dalam pidana tutupan terhadap para terdakwa, dikemukakan bahwa maksud dari perbuatan para terdakwa adalah untuk “memperbaiki nasib nusa dan bangsa”, yang dalam hal ini memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia sepenuhnya. Jelas dalam perbuatan para terdakwa terkandung maksud yang mulia, sehingga patut dihormati.

Kendati demikian, Majelis Hakim juga menilai tentang hasil atau akibat dari perbuatan para terdakwa, yaitu bahwa usaha untuk menggulingkan Pemerintah tidak tercapai dan pertumpahan darah tidak terjadi. Hal mana dipandang telah memenuhi kriteria yang ditentukan pada Pasal 2 Ayat 1 Undang-undang No.20 Tahun 1946, bahwa perbuatan itu tidak dilakukan dengan cara-cara keji, sehingga para terdakwa tidak tepat untuk dipersamakan dengan penjahat biasa, yang berarti tidak tepat pula dijatuhi pidana penjara. Dengan demikian, pertimbangan Majelis Hakim untuk menjatuhkan pidana tutupan terhadap terdakwa cukup beralasan dan sejalan dengan maksud Undang-undang No. 20 Tahun 1946.

Selanjutnya mengenai amar putusan yang berbunyi “memimpin percobaan untuk menggulingkan Pemerintahan yang sah” dan “melakukan percobaan untuk menggulingkan pemerintah yang sah”, agaknya merupakan rumusan yang kurang tepat untuk dipergunakan bagi kejahatan makar. Menurut Pasal 87 KUHP, dikatakan ada makar untuk melakukan suatu perbuatan dari adanya permulaan pelaksanaan, seperti dimaksud dalam Pasal 53 KUHP.

Ini berarti bahwa perbuatan “makar”(aanslag) berbeda dengan “percobaan”(poeging). Karena apabila pengertian “makar” identik dengan “percobaan”, tentu pembuat undang-undang tidak akan merumuskan Pasal 87 KUHP tersebut. Artinya, apakah perbuatan itu selesai atau tidak selesai dilaksanakan, namun semuanya telah tercakup dalam perbuatan makar. Dengan kata lain, perbuatan makar mencakup perbuatan yang telah sempurna dilaksanakan maupun “percobaannya”, dan untuk itu diancam dengan maksimum pidana yang sama.

Di dalam pelaksanaanya, pidana tutupan yang dijatuhkan kepada para pelaku Peristiwa 3 Juli 1946 tersebut dijalankan di Rumah Penjara dan bersama-sama dengan terpidana penjara, menunjukan bahwa pelaksanaan pidana tutupan pada waktu itu belum sepenuhnya sesuai dengan ketentuan Undang-undang No.20 Tahun 1946 dan Peraturan Pemerintah No.8 Tahun 1948, yang menghendaki diadakannya Rumah Tutupan tersendiri. Hal ini dapat dipahami, mengingat situasi negara pada waktu itu masih belum stabil, sehingga belum memungkinkan bagi pemerintah untuk membangun suatu Rumah Tutupan tersendiri.Namun para terpidana R.P Soedarsono dan kawan-kawan tidak menjalani seluruh masa pidananya, karena pada tanggal 17 Agustus 1948 mereka dibebaskan setelah mendapat grasi berdasarkan Keputusan Presiden No.109/A/Civ/48 tanggal 17 Agustus 1948.

Dihitung sejak pemidanaan dijatuhkan oleh Mahkamah Tentara Agung pada tanggal 27 Mei 1948, maka R.P Soedarsono dan kawan-kawan hanya menjalani pidana tutupan sekitar 80 hari. Suatu jangka waktu yang relatif singkat, jika dibandingkan dengan upaya untuk membentuk jenis pidana tutupan tersebut sampai dengan proses persidangan perkara yang memakan waktu lebih dari 2 tahun 6 bulan. Tetapi bagaimanpun juga, kenyataan ini menunjukan adanya itikad pemerintah yang ingin membedakan perlakukan terhadap pelaku kejahatan politik dengan pelaku kejahatan biasa.

C. Penerapan Pidana Tutupan

i). Prospeksi Pidana Tutupan
Pidana tutupan yang dalam praktek baru satu kali diterapkan itu, terdapat pandangan berupa pembicaraan tentang prospeksi pidana tutupan. Artinya untuk menentukan apakah pidana tutupan masih perlu dipertahankan dalam KUHP baru yang akan datang, sangat tergantung pada pertanyaan apakah terhadap pelaku tindak pidana yang terdorong oleh maksud yang patut dihormati perlu diberikan perlakuan yang berbeda daripada pelaku tindak pidana biasa. Dengan mengacu pada latar belakang pembentukan pidana tutupan seperti diuraikan di muka, yaitu terjadinya Peristiwa 3 Juli 1946 yang merupakan tindak pidana politik, maka persoalannya adalah apakah terhadap pelaku tindak politik perlu diberikan perlakuan yang berbeda daripada pelaku tindak pidana biasa. Untuk dapat memahami masalah ini, kiranya perlu ditelusuri sejarah perkembangan maupun pandangan-pandangan terhadap tindak pidana politik itu.

Dalam menentukan apakah suatu perbuatan termasuk tindak pidana politik, seorang ahli hukum Hazewinkel Suringa mengemukakan empat teori yaitu :
- Teori Obyektif atau Teori Absolut. Teori ini mengemukakan bahwa delik politik ditujukan terhadap negara dan berfungsinya lembaga-lembaga negara.
- Teori Subyektif atau Teori Relatif. Menurut teori ini, pada dasarnya semua tindak pidana umum yang dilakukan dengan suatu tujuan dan latar belakang politik merupakan tindak pidana politik.
- Teori Predominan. Teori ini membatasi pengertian yang luas dari tindak pidana politik, terutama terhadap
- Teori Political Incidence. Teori ini melihat perbuatan yang dianggap bagian dari suatu kegiatan politik.
Keempat teori tersebut selain diperlukan menentukan apakah suatu perbuatan merupakan tindak pidana politik, juga diperlukan dalam hal melakukan ekstradisi. Dalam pengaturan tentang kejahatan terhadap keamanan negara yang terdapat dalam KUHP Indonesia dianut Teori Obyektif, disamping pula Teori Subyektif dalam Undang-undang No.11 PNPS Tahun 1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi.

Ditinjau dari sudut pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana politik terdapat beberapa pandangan dari para sarjana. Menurut Ferri, unsur-unsur psikologis dan pribadi merupakan faktor yang menentukan bagi seseorang dalam melakukan tindak pidana politik.

Mereka yang melakukan perbuatan tersebut bukanlah merupakan delikuen yang tergerak oleh maksud yang rendah atau dorongan-dorongan egoistis, melainkan mengandung maksud-maksud utopis dan jujur. Meskipun perbuatan itu mempuanyai sifat yang berbahaya. Tetapi karakteristik yang terhormat itu akan hilang, apabila yang menjadi dorongan atau motivasi dari perbuatan itu adalah untuk kepentingan pribadi. Sejalan dengan Ferri, Gustav Redbruch memandang pelaku delik politik sebagai pelaku yang melakukan perbuatan tindaka atas dasar pertimbangan egois, melainkan atas dasar perbuatannya itu akan memajukan kesejahteraan negara ataupun kesejahteraan masyarakat yang mirip dengan pidana tutupan.

Sementara itu pula perlakuan khusus terhadap pelaku tindak kejahatan politik bukanlah merupakan suatu diskriminasi, karena posisi istimewa dari terpidana politik dalam sejarah pembinaan dianggap suatu keharusan. Bagaimanapun juga tidak dapat dihindarkan adanya hal-hal yang berbeda, terutama yang menyangkut perasaan terpidana. Pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana politik yang pada umumnya adalah para intelektual yang berarti dirampas kemerdekaanya akan sangat dirasakan sebagai suatu penderitaan yang mendalam, ketimbang perasaan penjahat biasa yang sudah tidak asing lagi bergelut dengan penderitaan hidup sehari-hari. Karena itu pemberian perlakuan istimewa terhadap terpidana politik merupakan hal yang wajar.

ii) Relevansi Pidana Tutupan dengan Tujuan Pemidanaan
Mengenai relevansi pidana tutupan dengan tujuan pemidanaan, dirujuk tujuan pemidanaan yang dirumuskan dalam Konsep KUHP baru Tahun 1991/1992. Karena dalam merumuskan tujuan pemidanaan tersebut, tentu para pakar telah mengadakan pengkajian yang mendalam dan berakar pada kehidupan masyarakat Indonesia sendiri yang berlandaskan Pancasila. Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa maupun sebagai sumber dari segala sumber hukum, termasuk sumber hukum pidana, menjadi tolak ukur dalam menentukan hal-hal yang dapat diterima dalam tata hukum Indonesia atau dengan kata lain Pancasila harus tercermin dalam tujuan pemidanaan tersebut. Hal ini penting dikemukakan agar dalam menilai pengkaitan pidana tutupan dengan tujuan pemidanaan, tetap berada dalam konteks pandangan yang sesuai dengan kondisi sosial masyarakat Indonesia. Tujuan pemidanaan dalam RKHUP dalam Pasal 54 yang menyatakan bahwa pemidanaan bertujuan :
▪ Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat;
▪ Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna;
▪ Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; dan
▪ Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

Apabila tujuan pidana tutupan dikaitkan dengan tujuan pemidanaan menurut Konsep KUHP baru, maka tampak bahwa tujuan paling menonjol dari pidana tutupan adalah perlindungan masyarakat. Dengan penerapan pidana tutupan diharapkan dampak prevensi umum terhadap masyarakat, sedangkan penempatan terpidana dalam rumah tutupan mengandung dimensi prevensi khusus melalui rehabilitasi dan resosialisasi terpidana agar menjadi lebih baik dan berguna. Terhadap tujuan pemidanaan berupa penyelesaian konflik, memulihkan keseimbangan dan menandatangkan rasa damai dalam masyarakt, yang sejalan dengan pandangan hukum adat, maka pidana tutupan seperti juga jenis pidana lainnya berfungsi sebagai “reaksi adat” terhadap kejahatan yang terjadi.

Demikian pula terhadap tujuan pemidanaan berupa membebaskan rasa bersalah pada terpidana, maka pidana tutupan yang diberikan perlakuan istimewa itu secara psikologis diharapkan dapat lebih cepat dibebaskan secara mental dan spritual, untuk tidak saja melepaskan cara dan gaya hidupnya yang lama, tetapi juga melepaskan cara berfikir dan kebiasaan yang lama. Lagipula dengan memberikan perlakuan istimewa terhadap terpidana tutupan, jelas bahwa pidana tutupan tidak bertujuan untuk menderitakan terpidana atau merendahkan martabat manusia. Dari keseluruhan uraian tentang pemahaman tindak pidana politik dan relevansi pidana tutupan dengan aliran-aliran dalam ukum pidana serta tujuan dengan aliran-aliran dalam hukum pidana serta tujuan pemidanaan di muka, maka diharapkan agar pidana tutupan mempunyai alasan-alasan kuat untuk dapat dipertahankan dalam KUHP baru yang akan datang.

II. Penutup

A. Kesimpulan

Latar belakang pembentukan pidana tutupan berdasarkan Undang-undang No.20 Tahun 1946 disebabkan oleh terjadinya peristiwa-peristiwa poplitik pada masa perjuangan menegakan dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia, yang berupa pertentangan antara para tokoh pejuang dan tokoh politik kita dalam menentukan cara menghadapi agresi Belanda, yang berpuncak pada Peristiwa 3 Juli 1946. Sementara itu tujuan pidana tutupan, selain untuk mengasingkan terpidana dari masyarakat, agar masyarakat tidak terpengaruh oleh pikiran-pikiran terpidana yang bertentangan dengan politik pemerintah dan dianggap berbahaya itu, juga untuk menegaskan bahwa terpidana tutupan tidak dipersamakan dengan penjahat biasa.
Kendati kejahatan yang dilakukan karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati, namun Hakim tidak diperkenankan menjatuhkan pidana tutupan, apabila cara melakukan atau akibat yang ditimbulkan perbuatan itu sedemikian rupa, sehingga tidak cukup alasan bagi Hakim untuk membedakan pelaku dari penjahat biasa. Penerapan pidana tutupan terhadap para pelaku Peristiwa 3 Juli 1946 merupakan hal yang telah diperhitungkan sebe;umnya, mengingat pembentukan pidana tutupan justru berlatar belakang terjadinya Peristiwa 3 Juli tersebut.

Dalam menjatuhkan pidana tutupan terhadap para pelaku Peristiwa 3 Juli 1946 yang terbukti bersalah, Majelis Hakim Mahkamah Tentara Agung yang bersidang di Yogyakarta pada tahun 1948 memberikan pertimbangan bahwa Peristiwa 3 Juli dikategorikan sebagai kejahatan yang terdorong oleh maksud yang patut dihormati. Pelaksanaan pidana tutupan terhadap para pelaku Peristiwa 3 Juli 1946 belum sepenuhnya dapat dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Undang-undang No. 20 Tahun 1946 dan Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1948 yang menghendaki terpidana ditempatkan di rumah tutupan tersendiri.Mengingat situasi dan kondisi negara pada waktu itu masih belum memungkinkan. Dan pemberian pemberlakuan istimewa terhadap para pelaku Peristiwa 3 Juli 1946 bukanlah suatu hal yang bersifat diskriminasi melainkan untuk membedakan antara tindak pidana politik yang memungkinkan adanya sifat yang berbahaya namun tetap menggunakan rasio secara sehat oleh tindak pelakunya tanpa adanya pertumpahan darah dengan tindak pidana biasa yang umumnya jauh lebih berbahaya secara perbuatan dan merugikan masyarakat dalam kategori kerugian secara fisik dan batin.

B. Rumusan Undang – undang No. 20 Tahun 1946

10
UNDANG-UNDANG 1946 NOMOR 20
TENTANG
HUKUMAN TUTUPAN.
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA.

Menimbang :
Bahwa perlu mengadakan hukuman pokok baru, selain dari pada hukuman-hukuman tersebut dalam pasal 10 huruf a Kitab Undang-undang hukum pidana dan pasal 6 huruf a Kitab Undang-undang hukum pidana tentera;
Mengingat :
Pasal 20 ayat 1 berhubung dengan pasal IV Aturan Peralihan dari Undang-Undang Dasar dan Maklumat Wakil Presiden tertanggal 16-10-1945 No. X;

Dengan persetujuan Badan Pekerja Komite Nasional Pusat.
Memutuskan :
Menetapkan peraturan sebagai berikut :
UNDANG-UNDANG TENTANG HUKUMAN TUTUPAN.

Pasal 1.
Selain dari pada hukuman pokok tersebut dalam pasal 10 huruf a Kitab undang-undang hukum pidana dan pasal 6 huruf a Kitab undang-undang hukum pidana tentera adalah hukuman pokok baru, yaitu hukuman tutupan, yang menggantikan hukuman penjara dalam hal tersebut dalam pasal 2.
Pasal 2.
(1) Dalam mengadili orang yang melakukan kejahatan, yang diancam dengan hukuman penjara, karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati, hakim boleh menjatuhkan hukuman tutupan.
(2) Peraturan dalam ayat 1 tidak berlaku jika perbuatan yang merupakan kejahatan atau cara melakukan perbuatan itu atau akibat dari perbuatan tadi adalah demikian sehingga hakim berpendapat, bahwa hukuman penjara lebih pada tempatnya.
Pasal 3.
(1) Barang siapa dihukum dengan hukuman tutupan wajib menjalankan pekerjaan yang diperintahkan kepadanya menurut peraturan-peraturan yang ditetapkan berdasarkan pasal 5.
(2) Menteri yang bersangkutan atau pegawai yang ditunjuknya berhak atas permintaan terhukum membebaskannya dari kewajiban yang dimaksudkan dalam ayat 1.
Pasal 4.
Semua peraturan yang mengenai hukuman penjara berlaku juga terhadap hukuman tutupan, jika peraturan-peraturan itu tidak bertentangan dengan sifat atau peraturan khusus tentang hukuman tutupan.
Pasal 5.
(1) Tempat untuk menjalani hukuman tutupan, cara melakukan hukuman itu dan segala sesuatu yang perlu untuk menjalankan undang-undang ini diatur dalam peraturan pemerintah.
(2) Peraturan tata-usaha atau tata-tertib guna rumah buat menjalankan hukuman tutupan diatur oleh Menteri Kehakiman dengan persetujuan Menteri Pertahanan.
Pasal 6.
Undang-undang ini mulai berlaku pada hari pengumumannya.

Ditetapkan di Yogyakarta
pada tanggal 31 Oktober 1946.
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA.

SOEKARNO.

Menteri Kehakiman

SOESANTO TIRTOPRODJO.

Menteri Pertahanan

AMIR SJARIFOEDIN.

Diumumkan
pada tanggal 1 Nopember 1946.
Sekretaris Negara,

A.G. PRINGGODIGDO.

III. Daftar Pustaka

Bachrudin, Pidana Tutupan, FH-UI, 1992

Zara, M.Yuanda, Judul : Peristiwa 3 Juli 1946: Menguak Kudeta Pertama dalam Sejarah Indonesia, Penerbit : Media Pressindo, 2009

Undang - undang 1946 Nomor 20 Tentang Hukuman Tutupan

Hand Out Mata Kuliah Hukum Pidana, Dosen Pengampu: Ahmmad Bahiej, S.H., M.Hum.

Google : http://id.wikipedia.org/wiki/Kabinet_Sjahrir_I