.

Minggu

Sumber Hukum Internasional

Pendahuluan :

Kumpulan sumber hukum internasional merupakan aturan dan prinsip yang menjadi rujukan bagi ahli hukum internasional ketika akan menentukan hukum mana dan aturan seprti apa yang akan diberlakukan. Keutuhan dan kekuatan argumentasi hukum akan dinilai dari seberapa kuat sumber-sumber hukum yang digunakannya.


A. Sumber hukum formil dan materiil
  1. Sumber Hukum Formil merujuk kepada adanya proses formal yang diakui metodenya oleh institusi yang berwenang menerbitkan ketentuan yang mengikat yang biasanya diterapkan dalam sebuah sistem hukum tertentu. Dari sebuah hukum formal inilah validitas sebuah hukum ditemukan.
  2. Sumber Hukum Materiil merujuk kepada bukti-bukti baik secara umum maupun khusus yang menunjukkan bahwa hukum tertentu telah diterapkan dalam suatu kasus tertentu. Dari sebuah hukum materiil inilah isi dari sebuah hukum bisa ditemukan.

Dengan kata lain, sumber hukum materiil memberikan isi dari hukum sementara hukum formil memberikan kewenangan dan validitas pemberlakuannya.

Pasal 38 (1) dari Piagam Mahkamah Internasional (International Court of Justice) menyatakan bahwa dalam memutuskan sebuah perkara yang diajukan, mereka akan merujuk kepada sumber-sumber hukum sebagai berikut:

1. Konvensi Internasional, baik umum maupun khusus, yang menjadi hukum dan diakui oleh negara-negara yang berperkara;
2. Kebiasaan Internasional, sebagai bukti praktek negara yang diterima sebagai sebuah hukum;
3. Prinsip-prinsip Hukum Umum yangn diakui oleh bangsa yang beradab; dan
4. Keputusan Pengadilan dan ajaran para ahli hukum, sebagai sumber hukum tambahan dalam menentukan adanya sebuah hukum.

Mahkamah Internasional juga mengakui adanya prinsip ex aequo et bono sesuai dengan Pasal 38 (2) yang memungkinkan Mahkamah memutuskan suatu perkara berdasarkan prinsip-prinsip yang telah disetujui oleh pihak-pihak yang bersengketa. Lihat kasus Frontier Dispute Case (Burkina Faso v Mali 1986)

B. Hirarki Prioritas

Urut-urutan yang disebutkan dalam Pasal 38 (1) Statuta Mahkamah Internasional bukanlah merupakan hirarki ketentuan yang didasarkan kepada bobot materiil ketentuan tersebut melainkan hanya urutan prioritas kemudahan penggunaan ketika Mahkamah Internasional akan menggunakannya dalam memutus sebuah perkara.

C. Penjelasan Masing-masing Sumber Hukum
  • Traktat/ Perjanjian Internasional

Perjanjian internasional adalah persetujuan antara dua atau lebih negara dalam bentuk tertulis, diatur sesuai dengan prinsip-prinsip hukum internasional. Secara umum dikelompok menjadi dua:
1. Perjanjian Multilateral yaitu sebuah persetujuan yang disepakati oleh lebih dari dua negara. Ketika perjanjian ini merupakan cerminan dari pendapat masyarakat internasional pada umumnya, maka perjanjian tersebut bisa menjadi apa yang disebut dengan “Law-Making Treaty”. Traktat yang membuat Hukum. Perjanjian ini menciptakan norma umum hukum yang akan dipakai oleh masyarakat internasional sebagai prinsip utama di masa mendatang guna menyelesaikan suatu perkara di antara mereka.
2. Perjanjian Bilateral adalah Kontrak Internasional antara dua negara. Tujuan perjanjian ini adalah menetapkan kewajiban-kewajiban hukum tertentu dan segala akibatnya jika melakukan atau tidak melakukan kewajiban tersebut terhadap pihak yang menandatangani kontrak tersebut.

Konvensi Wina tahun 1969 tentang Perjanjian Internasional (Vienna Convention on the Law of Treaties 1969) telah mengatur hal-hal yang menyangkut proses negosiasi atau penundukkan (accession), validitas, perubahan (amendment), penggantian (modification), pengecualian (reservation), penundaan (suspension) atau pemberhentian (termination) dari sebuah perjanjian internasional.

Pernyataan Sepihak (Unilateral Statement) atau Deklarasi yang memuat hak dan kewajiban suatu negara dalam hubungannya dengan peristiwa tertentu dapat pula dianggap sebagai sebuah perjanjian sepihak yang menjadi suatu sumber hukum terbatas bagi negara yang mengeluarkan pernyataan tersebut. Lihat Nuclear Test Case (1974) ICJ Reports, hal 253 paragraf 43

Perjanjian Internasional dapat pula berfungsi sebagai bukti adanya kebiasaan internasional ketika:
1. Ada beberapa perjanjian bilateral terhadap kasus yang serupa yang memakai prinsip-prinsip yang sama atau ketentuan-ketentuan yang serupa sehingga bisa menimbulkan akibat hukum yang sama. Lihat Lotus Case (1927) PCIJ reports, Series A, No. 10
2. Sebuah perjanjian yang ditandatangani oleh beberapa negara bisa menjadi sebuah kebiasaan jika aturan yang disepakati merupakan generalisasi dari praktek negara-negara dan persyaratan bahwa hal tersebut dianggap sebagai sebuah hukum dapat dipenuhi. Lihat North Sea Continental Shelf Cases (1969) ICJ Report, hal 3
3. Sebuah perjanjian yang ditandatangani beberapa negara yang merupakan hasil kodifikasi dari beberapa prinsip dalam kebiasaan internasional dan secara konsekuen telah mengikat pihak-pihak yang tidak terlibat dalam perjanjian tersebut. Lihat preamble Geneva Convention on the High Seas 1958 dan treaty on Principles Governing the Activities of States in the Exploration and Use of Outer Space 1967.
  • Kebiasaan Internasional (Customary Law)
Ada dua elemen yang harus ada dalam kebiasaan internasional untuk bisa dipakai sebagai sumber hukum internasional:
1. Praktek Negara-negara: Unsur-unsur yang dilihat dalam praktek negara adalah seberapa lama hal itu sudah dilakukan secara terus menerus (duration); keseragaman atau kesamaan dari praktek tersebut dalam berbegai kesempatan dan berbagai pihak yang terlibat (uniformity) serta kadar kebiasaan yang dimunculkan oleh tindakan tersebut (generality). Lihat Fisheries Jurisdiction (Merits) Case (1974) ICJ Reports, hal 3 dan North Sea Continental Shelf Cases (1969) ICJ Report, hal 3
2. Opinio Juris sive Necessitatis. Ini adalah pengakuan subyektif dari negara-negara yang melakukan kebiasaan internasional tertentu dan kehendak untuk mematuhi kebiasaan internasional tersebut sebagai sebuah hukum yang memberikan hak dan kewajiban bagi negara-negara tersebut.

Bukti keberadaan sebuah kebiasaan internasional ialah: Korespondensi Diplomatik, pernyataan kebijakan, siaran pers, pendapat dari pejabat yang berwenang tentang hukum, keputusan eksekutif dan prakteknya, komentar resmi dari pemerintah tentang rancangan yang dibuat oleh ILC, Undang-undang nasional, keputusan pengadilan nasional, kutipan dalam sebuah perjanjian internasional, paktek lembaga-lembaga internasional, dan resolusi yang dikeluarkan Sidang Umum PBB.

Suatu negara bisa secara terus menerus melakukan penolakan terhadap sebuah kebiasaan internasional (persistent objector). Bukti penolakan tersebut harus jelas. Lihat Anglo Norwegian Fisheries Case (1951) ICJ Reports, hal 116. Namun demikian, suatu negara yang diam saja ketika proses pembentukan kebiasaan internasional berlangsung tidak dapat menghindar dari pemberlakuan kebiasaan tersebut terhadapnya.

Suatu kebiasaan internasional bisa saja “exist” di wilayah tertentu saja, misal antar dua negara atau regional saja. Lihat Asylum Case (1950) ICJ Reports, hal. 266 dan The Rights of Passage over Indian Territory Case (1960) ICJ Reports,hal 6
  • Prinsip-Prinsip Hukum Umum
Sumber hukum ini dgunakan ketika perjanjian internasional dan kebiasaan yang ditemukan tidak kuat dipakai sebagai dasar untuk memutuskan suatu perkara. Hal ini penting dilakukan agar pengadilan tidak berhenti begitu saja karena tidak ada aturan yang mengatur (non liquet). Namun sampai saat ini belum terlalu jelas apakah yang dimaksud sebagai prinsip hukum hanya yang telah diakui oleh msayarakat internasional ataukah prinsip hukum nasional tertentu saja sudah cukup.

Prinsip hukum umum seringkali berguna dan berfungsi sebagai keterangan untuk menginterpretasikan sebuah kebiasaan atau perjanjian internasional. Hal ini terutama ditemukan dalam naskah persiapan suatu perjanjian internasional.

Prinsip-prinsip yang pernah digunakan oleh Mahkamah Internasional antara lain adalah Good Faith, Estoppel, Res Judicata, Circumstantial Evidence, Equity, Pacta Sunt Servanda dan Effectivites. Lihat Diversion of Water from the Meuse Case (1937) PCIJ Reports, Series A/B, no 70; Temple of Preah Vihear Case (Merits) (1962) ICJ Reports, hal 6 dan the Corfu Channel Case (Merits) (1949) ICJ Reports hal 4
  • Keputusan Pengadilan
Pasal 59 Statuta Mahkamah Internasional menegaskan bahwa “the decision of the Court shall have no binding effect except between the parties and in respect of that particular case”. Konsekuensinya:

Mahkamah tidak mengakui prinsip Preseden dan keputusan sebelumnya tidak mengikat secara teknis. Tujuannya adalah bahwa mencegah sebuah prinsip yang sudah dipakai Mahkamah dalam putusannya digunakan untuk negara lain atas kasus yang berbeda. Lihat Certain German Interest in Polish Upper Silesia Case (1926) PCIJ Reports, Series A, no 7. Keputusan Mahkamah bukan merupakan sumber formal dari sumber hukum internasional. Keputusan Peradilan hanya memiliki nilai persuasif. Sementara keputusan peradilan nasional berfungsi sebagai acuan tidak langsung adanya opinio juris terhadap suatu praktek negara tertentu.

Hal yang sama juga berlaku untuk ajaran para ahli hukum internasional. Selain dilihat sebagai sebuah doktrin yang melengkapi interpretasi sebuah perjanjian, kebiasaan maupun prinsip umum hukum, sekaligus juga merupakan buki tidak langsung dari praktek dan opinio juris dari suatu negara.
  • Ajaran Para Ahli Hukum Internasional
Dalam hukum internasional kontemporer, ajaran para ahli berfungsi terbatas hanya dalam analisa fakt-fakta, pembentukan pendapat-pendapat dan kesimpulan-kesimpulan yang mengarah kepada terjadinya trend atau kecenderungan dalam hukum internasional. Tentu saja pendapat dan ajaran-ajaran tersebut bersifat pribadi dan subyektif, namun dengan semakin banyaknya ajaran yang menyetujui akan suatu prinsip tertentu maka bisa dikatakan akan membentuk suatu kebiasaan baru.

Pendapat dari para pejabat di bagian hukum masing-masing negara, tidak bisa dianggap sebagai ajaran para ahli hukum internasional namun justru bisa dilihat sebagai bagian dari prakte negara-negara.
  • Resolusi Majelis Umum PBB
Resolusi PBB memiliki kekuatan mengikat terhadap hal-hal yang ditetapkan dalam statuta. Hal-hal tersebut adalah yang terkait dengan urusan administrasi dan keuangan. PBB sendiri tidak memiliki mandat untuk mengeluarkan prinsip-prinsip hukum internasional sehingga satu-satunya cara agar apa yang disepakati di dalam resolusi bisa menjadi prinsip hukum internasional adalah dengan melalui prosedur hukum kebiasaan internasional. Resolusi PBB hanya dianggap merefleksikan opinio juris dari negara-negara yang menyetujui resolusi itu.

Meski demikian tetap harus diperhatikan dengan seksama apakah negara yang menyetujui memang menghendaki pernyataan persetujuannya itu dianggap sebagai opinio juris dan bukan sekedar pernyataan persetujuan belaka.

Kasus-Kasus yang Relevan:
• Nuclear Test Case (1974) ICJ Reports, hal 253: Pernyataan Sepihak sebagai hukum
• North Sea Continental Shelf Cases (1969) ICJ Reports, hal 3: lamanya (duration) dan tingkat generalisasi (generality) dari praktek negara-negara sebagai prasyarat tercukupi suatu praktek negara menjadi hukum kebiasaan internasional
• Fisheries Jurisdiction Case (1974) ICJ Reports, hal 3: Komentar tentang lamanya dan tingkat generalisasi sebagai prasyarat praktek negara dalam menjadi hukum kebiasaan internasional
• Lotus Case (1927) PCIJ Reports, Series A, no 10: Pernyataan akibat hukum dari pembiaran (acquiescence) dalam pembentukan kebiasaan internasional dan makna dari opinio juris sive necessitatis.
• Asylum Case (1950) ICJ Reports, hal 266: Pernyataan yang mendukung keberadaan hukum nasional sebagai bagian dari hukum internasional
• The Diversion of Water fromthe Meuse Case (1937) PCIJ Reports, Series A/B, no 70: pertimbangan konsep Equity sebagai Prinsip Umun Internasional.
(Sumber : http://bennysetianto.blogspot.com/2006/03/sumber-hukum-internasional.html)