Berikut ini salah satu tugas yang diberikan Dosen pengajar Hukum Perdata : Djaja Sembiring Meliala, SH, MH.
- PERTANYAAN :
1. Apa perbedaan dari Doktrin dengan Teori Hukum ?
2. Dengan berlakunya Undang-undang Kewarganegaraan No.12/2006,
a. Siapa yang disebut dengan bangsa Indonesia Asli ?
b. Bagaimana kaitannya dengan Pasal 163 jo 131 IS ?
3. Undang-undang Perkawinan No. 1/1974 berlaku pada tanggal 2 Januari 1974, akan tetapi baru diberlakukan secara efektif pada tanggal 1 Oktober 1975. Apa maksudnya ? Uraikan !
4. Dalam hubungan dengan Peradilan, yang melakukan peradilan adalah Peradilan Agama dan Peradilan Umum. Bagaimana hubungan putusan Peradilan Agama dengan Peradilan Umum menurut Undang-undang Perkawinan No. 1/1974 jo PP No.9/1975 ?
5. Ada sepasang suami istri, ketika melangsungkan perkawinan mereka berdua beragama Kristen. Setelah menikah, salah satu maupun keduanya memeluk agama Islam dan suatu saat mereka memutuskan untuk bercerai.
a. Ke Pengadilan mana gugatan tersebut diajukan ?
b. Bagaimana jika sebelumnya mereka memeluk agama Islam kemudian menjadi memeluk agama Kristen ?
-------------
- JAWABAN :
1. Definisi paling sederhana, Doktrin atau Ilmu Pengetahuan Hukum merupakan hukum acara juga, hakim dapat mengadili Hukum Acara Perdata. Doktrin merupakan pendapat para sarjana hukum yang dapat dijadikan sumber hukum dalam lingkungan peradilan. Doktrin bukanlah hukum, melainkan sumber hukum. Doktrin bersifat menerangkan dan menjelaskan, sedangkan kebijakan bersifat mengarahkan dan menentukan. Tujuannya adalah untuk membimbing, menjelaskan dan mengajarkan, serta menyediakan dasar untuk diskusi dan studi lebih lanjut. Doktrin memiliki arti sangat penting, karena pemahaman terhadap doktrin dapat membantu memperjelas pemikiran untukkmemutuskan cara bertindak pada situasi tertentu dalam penyelesaian masalah hukum.
Sementara itu yang dimaksud dengan Teori hukum atau disiplin hukum yang dalam perspektif interdisipliner dan eksternal secara kritis menganalisis berbagai aspek gejala hukum, baik tersendiri maupun dalam kaitan keseluruhan, baik dalam konsepsi teoritisnya maupun dalam kaitan keseluruhan, baik dalam konsepsi teoretisnya maupun dalam pengejawantahan praktisnya, dengan tujuan untuk memperoleh pemahaman yg lebih baik dan memberikan penjelasan sejernih mungkin tentang bahan hukum yang tersaji dan kegiatan yuridis dalam kenyataan kemasyarakatan.
Sehingga dapat dibedakan bahwa Teori hukum memiliki cakupan pengetahuan yang sangat luas untuk Hakim maupun Ahli Hukum dalam memberikan kesimpulan dan pemikirannya lebih baik daripada dengan Doktrin.
2. a. Menurut Undang – undang Kewarganegaraan Pasal 4 No. 12 Tahun 2006, yang disebut dengan Bangsa Indonesia Asli Adalah :
- Setiap orang yang berdasarkan peraturan perundang-undangan dan/atau berdasarkan perjanjian Pemerintah Republik Indonesia dengan Negara lain sebelum Unadang-undang ini berlaku sudah menjadi warga negara Indonesia.
- Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah dan ibu warga negara Indonesia.
- Anak yang lair dari perkawinan yang sah dari seorang ayah warga negara Indonesia dan ibu warga negara Asing.
- Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah warga negara Asing dan ibu warga negara Indonesia.
- Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ibu warga Negara Indonesia, tetapi ayahnya tidak mempunyai kewarganegaraan atau hukum Negara asal ayahnya tidak memberikan kewarganegaraan kepada anak tersebut.
- Anak yang lahir dalam tenggang waktu 300 hari setelah ayahnya meninggal dunia dari perkawinan yang sah dan ayahnya warga Negara Indonesia.
- Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu warga Negara Indonesia.
- Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu warga Negara Asing yang diakui oleh seorang ayah warga Negara Indonesia sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berusia 18 tahun atau belum kawin.
- Anak yang lahir di wilayah Republik Indonesia yang pada waktu lahir tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya.
- Anak yang baru lahir yang ditemukan di wilayah Negara Republik Indonesia selama ayah dan ibunya tidak diketahui.
- Anak yang lahir di wilayah Negara Republik Indonesia apabila ayah dan ibunya tidak mempunyai kewarganegaraan atau tidak diketahui keberadaannya.
- Anak yang dilahirkan di luar wilayah Republik Indonesia dari seorang ayah dan ibu warga Negara Indonesia yang karena ketentuan dari Negara tempat anak tersebut dilahirkan memberikan kewarganegaraan kepada anak yang bersangkutan.
- Anak dari seorang ayah atau ibu yang telah dikabulkan permohanan kewarganegaraanya, kemudia ayah atau ibunya meninggal dunia sebelum mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia.
- Selanjutnya dibahas dalam Pasal 6 dan Pasal 5
b. Pada zaman Hindia Belanda, penduduk Indonesia (Hindia belanda) dibagi kepada 3 (tiga) golongan sesuai dengan Pasal 163 IS tahun 1925 yang mulai berlaku 1 Januari 1926 yaitu, golongan Eropa, golongan Timur Asing, dan golongan Bumiputra. Akan tetapi pada saat ini penduduk Indonesia telah diatur berdasarkan Undang-Undang Kewarganegaraan RI no. 12 tahun 2006 yang pada intinya mengatur bahwa penduduk Indonesia hanya dibedakan kepada; pertama, Warga negara Indonesia dan kedua, Orang Asing (penduduk yang bukan warga negara Indonesia).
Dengan undang-undang tersebut berarti di Indonesia saat ini sudah tidak ada lagi penggolongan warga negara seperti masa sebelum undang-undang tersebut dibentuk. Apalagi dengan adanya penegasan melalui Instruksi Presidium Kabinet No. 31/U/IN/12/1966 menyangkut hal untuk tidak menggunakan penggolongan-penggolongan warga negara Indonesia, serta Surat Edaran bersama Departemen Kehakiman RI dan Departemen Dalam Negeri No. Pemdes 51/1/3 J.A.2/2/5 tanggal 28 Januari 1967 perihal Perlaksanaan Keputusan Instruksi Presidium Kabinet No. 31/U/IN/12/1966.
Dengan adanya ketentuan-ketentuan ini masih dianggap relevan, kerana ternyata dalam bidang Hukum Perkawinan dan Hukum Waris, pembagian golongan penduduk sebagaimana diatur dalam pasal 163 IS jo 131 IS masih diakui dan dipertahankan (Pasal 37 UU Perkawinan, UU No. 1/1974). Bahwa dengan berlakunya UU Kewarganegaraan, No 12/2006 untuk masa yang akan dating, pembagian golongan penduduk ini tidak akan dikenal lagi.
3. Undang-undang Perkawinan No. 1/1974 berlaku pada tanggal 2 Januari 1974, akan tetapi baru diberlakukan secara efektif pada tanggal 1 Oktober 1975. Hal ini dimaksudkan agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
4. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan dalam Pasal 24 ayat (2) bahwa Peradilan Agama merupakan salah satu lembaga di lingkungan Peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung bersama Badan Peradilan lainnya di lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Militer. Peradilan Agama merupakan Badan Peradilan pelaku kekuasaan kehakiman untuk menyelenggarakan penegakan hukum dan keadilan bagi rakyat pencari keadilan suatu perkara tertentu antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shodaqah dan ekonomi syari’ah.
Peradilan Agama merupakan Peradilan Perdata dan Peradilan Islam di Indonesia yang harus mengindahkan Peraturan Perundang-Undangan Negara dan Syari’at Islam sekaligus untuk mewujudkan hukum materiil Islam dalam batasan-batasan kekuasaannya. Untuk melaksanakan tugas pokok Peradilan Agama yaitu menerima, memeriksa, mengadili dan menyelesaikan setiap perkara serta menegakkan hukum dan keadilan, maka Peradilan Agama membutuhkan sumber hukum yang dijadikan pedoman (patokan) dalam memutuskan perkara yang diajukan kepadanya. Baik itu berupa sumber hukum materiil maupun sumber hukum formil. Sehingga dalam memutuskan untuk menyelesaikan perkara tersebut mempunyai kekuatan hukum yang kuat baik secara hukum positif dan syari’at Islam.
Sementara yang dimaksud sumber hukum adalah segala aturan perundang-undangan yang bersifat mengatur dan mempunyai kekuatan hukum yang dapat dijadikan rujukan/patokan dalam lingkungan peradilan baik dalam Peradilan Umum maupun Peradilan Agama dalam memutuskan suatu perkara. Dalam lingkungan Peradilan Agama di Indonesia, sumber hukum yang dipakai atau dijadikan rujukan dalam memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan setiap perkara yang diajukan secara garis besar terbagi menjadi dua; yaitu sumber hukum materiil dan sumber hukum formil (hukum acara). Dan menurut Undang-uandang Perkawinan no.1/1974 Pasal 63 memuat bahwa setiap keputusan Pengadilan Agmama dikukuhkan oleh Pengadilan Umum.
5. a. Dalam hal ini harus dilihat terlebih dahulu tentang tata cara pelaksanaan perkawinan mereka, apakah menurut agama Islam atau bukan. Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 menyatakan, bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Artinya harus ada satu agama atau keyakinan dalam pelaksanaan upacara perkawinan. Hal ini dijelaskan lebih lanjut dalam Pasal 2 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan:
(1) Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk.
(2) Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat perkawinan pada kantor catatan sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai perundang-undangan mengenai pencatatan perkawinan. Maksudnya, jika perkawinan dilaksanakan menurut agama Islam, maka dilaksanakan dan dihadiri serta dicatat oleh petugas dari KUA. Sedangkan apabila perkawinan dilangsungkan menurut agama lain, maka dihadiri dan dicatat oleh petugas dari Kantor Catatan Sipil.
Sehingga dalam kasus tersebut apabila mereka memutuskan untuk bercerai maka dapat mengajukan gugatan cerainya ke Pengadilan di tempat pertama kali mereka melaksanakan pernikahan dengan agama sebelumnya yang mereka anut. Karena kedua pasangan ini beralih dari agama Kristen ke agama Islam maka gugatan tersebut diajukan di Pengadilan Umum.
b. Apabila sebaiknya kedua pasangan tersebut beralih dari agama Islam ke Kristen, maka tempat untuk diajukannya gugatan adalah ke Pengadilan Agama tempat pertama kali mereka melangsungkan perkawinan.