.

Sabtu

Indonesia Mereservasi Kovenan Hak Sipil Politik

Apa alasan Indonesia ikut mereservasi  Kovenan  Hak-hak Sipil Poilitik ? ”

Alasan Indonesia ikut mereservasi Kovenan Hak-hak Sipil Politik terdapat pada Penjelasan Umum dari Kovenan tersebut yaitu :

2. Pertimbangan Indonesia untuk menjadi Pihak pada International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik)

Indonesia adalah negara hukum dan sejak kelahirannya pada tahun 1945 menjunjung tinggi HAM. Sikap Indonesia tersebut dapat dilihat dari kenyataan bahwa meskipun dibuat sebelum diproklamasikannya DUHAM, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sudah memuat beberapa ketentuan tentang penghormatan HAM yang sangat penting.

Hak-hak tersebut antara lain :

- Hak semua bangsa atas kemerdekaan (alinea pertama Pembukaan);
- Hak atas kewarganegaraan (Pasal 26);
- Persamaan kedudukan semua warga negara Indonesia di dalam hukum dan pemerintahan (Pasal 27 ayat (1));
- Hak warga negara Indonesia atas pekerjaan (Pasal 27 ayat (2));
- Hak setiap warga negara Indonesia atas kehidupan yang layak bagi kemanusiaan (Pasal 27 ayat (2));
- Hak berserikat dan berkumpul bagi setiap warga negara (Pasal 28); -
- Kemerdekaan setiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu (Pasal 29 ayat (2)); dan
- Hak setiap warga negara Indonesia atas pendidikan (Pasal 31 ayat (1)).
Sikap Indonesia dalam memajukan dan melindungi HAM terus berlanjut meskipun Indonesia mengalami perubahan susunan negara dari Negara kesatuan menjadi negara federal (27 Desember 1949 sampai dengan 15 Agustus 1950). Konstitusi yang berlaku pada waktu itu, yaitu Konstitusi Republik Indonesia Serikat (Konstitusi RIS), memuat sebagian besar pokok-pokok HAM yang tercantum dalam DUHAM dan kewajiban Pemerintah untuk melindunginya (Pasal 7 sampai dengan Pasal 33).
..….
Dalam sejarah kehidupan bangsa Indonesia, upaya pemajuan dan perlindungan HAM telah mengalami pasang surut. Pada suatu masa upaya tersebut berhasil diperjuangkan, tetapi pada masa lain dikalahkan oleh kepentingan kekuasaan. Akhirnya, disadari bahwa kehidupan berbangsa dan bernegara yang tidak mengindahkan pemajuan dan, perlindungan HAM akan selalu menimbulkan ketidakadilan bagi masyarakat luas dan tidak memberikan landasan yang sehat bagi pembangunan ekonomi, politik, sosial dan budaya untuk jangka panjang.
……
Pada tanggal 13 November 1998, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mengambil keputusan yang sangat penting artinya bagi pemajuan dan perlindungan HAM, yaitu dengan mengesahkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, yang lampirannya memuat "Pandangan dan Sikap Bangsa Indonesia terhadap Hak Asasi Manusia" (Lampiran angka I) dan "Piagam Hak Asasi Manusia" (Lampiran angka II).
……
Selanjutnya, Ketetapan MPR tersebut menyatakan bahwa Bangsa Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa mempunyai tanggung jawab untuk menghormati Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) dan berbagai instrumen internasional lainnya mengenai hak asasi manusia" (Lampiran IB angka 2). Sebagaimana diketahui bahwa DUHAM 1948, Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, Protokol Opsional pada Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik serta Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya adalah instrumen-instrumen internasional utama mengenai HAM dan yang lazim disebut sebagai "International Bill of Human Rights" (Prasasti Internasional tentang Hak Asasi Manusia), yang merupakan instrumeninstrumen internasional inti mengenai HAM.

Perubahan tersebut dipertahankan sampai dengan perubahan keempat Undang-Undang Dasar 1945, yang kemudian disebut dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mengamanatkan pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara serta komitmen bangsa Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasional untuk memajukan dan melindungi HAM, Indonesia perlu mengesahkan instrumen-instrumen internasional utama mengenai HAM, khususnya International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya) serta International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional
tentang Hak-hak Sipil dan Politik).

“ Mengapa Kovenan Hak-hak Sipil Politik baru diberlakukan setelah 10 tahun dikeluarkan  (1966-1976) ? “

Adanya jangka waktu yang lama sampai pada pengadopsian Kovenan, disebabkan sejumlah faktor. Perang dingin antar Blok Barat dan Blok Timur, serta bertambahnya jumlah Negara-negara baru merdeka (Negara ke-3), antar lain menjadi variable yang berkontribusi “tertundanya” perwujudan perjanjian internasional hak asasi manusia.

Munculnya semangat politik merdeka dari bangsa-bangsa terjajah yang ingin membentuk negara merdeka, juga menyebabkan tertundannya perumusan 2 kovenan internasional, karena munculnya gugatan Negara-negara baru yang merasa tidak berpartisipasi dalam perumusan perjanjian internsional. Sebaliknya, negara-negara yang memiliki kolonial jajahan, juga merasakan sekali situasi di mana harus menerima semua konsekuesi dari perjanjian yang nantinya ditetapkan.

Perlu dilakukan dialog dan kompromi untuk menyetujui sebuah Pasal dalam Kovenan. Setidaknya terdapat 3 contoh sebagai ilustrasi sengitnya perdebatan dalam perumusan Kovenan.

Pertama, Negara-negara dunia ke-3 mendesak dimasukkannya klausula jaminan hak menentukan nasib sendiri untuk secara kolektif, sebuah bangsa secara bebas menentukan sendiri status politiknya, serta menentukan perkembangan, ekonomi, sosial, dan budaya secara kolektif. Hak menentukan nasib sendiri ini, oleh Negara Dunia ke-3 dijadikan argument dasar yang harus dimuat dalam Kovenan Hak-hak Sipil Politik dan juga Hak-hak Ekosob. Hak ini tidak dimuat dalam DUHAM, karenanya dituntut untuk memasukkan penentuan nasib sendiri dalam Kovenan.

Kedua, ketika ingin menjabarkan Pasal 17 DUHAM tentang “Hak Milik” dalam Kovenan, yang pada akhirnya tidak mencapat kesepakatan, Komisi membatalkan merumuskan pasal tentang ini. Debat yang berlangsung berkaitan dengan hak milik individual yang diusulkan negara-negara Blok Barat versus hak milik kolektif yang merupakan pandangan dari Blok Timur.

Ketiga, debat kembali muncul ketika pembahasan sistem pengawasan Internasional. Mayoritas Negara menyetujui rencana pembentukan badan independen ini, Namun perdebatan muncul berkaitan dengan kewenangan badan baru yang nantinya akan dibentuk.

Selain itu, lambatnya proses pengadopsian Kovenan juga disebabkan alokasi waktu yang sempit untuk membahas rancangan naskahnya dalam sidang Majelis Umum di New York. (Adnan Buyung Nasution, 2005: 21-24)


Daftar Pustaka

- lndonesia, Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik No. 12 Tahun 2005, Penjelasan Umum, butir 2.
- Nasution, Adnan Buyung dan A. Patra M.Zen. Instrumen Internasional Pokok Hak Asasi Manusia – ed.III., Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia dan Kelompok Kerja Ake Arif, 2006.
(Judul asli : Major Internastional Human Rights Instruments)