A. Latar Belakang
Secara historis, kesadaran manusia atas lingkungan hidup sudah ada sejak jaman dahulu kala. Menurut teori hukum alam, manusia tidak lagi diarahkan sebagai majikan lingkungan hidup yang serakah namun diarahkan sebagai majikan yang arif dan bijaksana. Biaya dan ongkos-ongkos dari pemanfaatan lingkungan hidup mulai imasukkan dalam proses produksi. Dengan kata lain, pendekatan “use oriented” mulai dikembangkan kepada pendekatan “environtment oriented” dalam artian bagaimana dapt mengelola lingkungan hidup tanpa harus merusak dan/atau mencemarkannya.[1]
Konsep pembangunan berwawasan lingkungan hidup juga mengamanatkan agar pengelolaan lingkungan hidup tidak lagi dilakukan dengan kualitas yang seadanya, namun menuntut kualitas pengelolaan yang prima dan optimal dengan menggunakan segenap sumber daya yang ada untuk mencapat tujuan pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Seperti tercantum dalam Pasal 33 ayat (3) dan (4) UUD 1945 yang menyatakan :
“ (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
(4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.”
“ (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
(4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.”
B. Permasalahan
Tujuan utama pengelolaan lingkungan hidup antara lain adalah terlaksananya pembangunan berwawasan lingkungan dan terkendalinya pemanfaatan sumberdaya alam secara bijaksana. Eksploitasi secara tidak terkendali terhadap sumber daya alam sesungguhnya merupakan ketidakadilan terhadap alam dan ketidakadilan antar generasi. itulah sebabnya Daud Silalahi berpendapat bahwa pemanfaatan sumber daya alam dalam rangka pembangunan harus digunakan secara rasional, dalam arti bahwa hal itu dapat memberi manfaat besar tetapi tidak merugikan kepentingan generasi mendatang.[2]
Pembangunan bidang lingkungan hidup hanya dapat berhasil apabila pelaksanaan dan penegakan hukum dan peraturan perundang-undangan dalam bidang lingkungan hidup, berjalan dan ditegakkan secara efektif dimana salah satu unsur yang sangat penting dalam kaitan ini adalah penerapan Tanggung Jawab Mutlak (Strict liability ) terhadap pelaku pencemaran lingkungan hidup. Oleh karena itu, permasalahan yang ingin dikemukakan lebih jauh adalah :
“Manfaat Penerapan Strict Liability dalam Konteks Perlindungan Daya Dukung Ekosistem”
C. Pembahasan
Konsep Strict liability pertama kali diintrodusir dalam hukum Indonesia antara lain melalui UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup(“UUPPLH”). Dalam Pasal 88 UU PPLH ini disebutkan secara tegas mengenai konsep Strict liability :
“Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun, editor), menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.”
“Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun, editor), menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.”
Prinsip tanggung jawab mutlak (Strict liability) perusahaan dalam kerusakan lingkungan di Indonesia belum pernah terlaksana. Padahal konsep ini sangat baik untuk menjaga keberlangsungan hidup masyarakat yang menjadi korban. Menurut Prayekti Murharjanti, peneliti hukum lingkungan dari Indonesia Center for Environmental Law (ICEL), sebenarnya ada beberapa kasus kerusakan lingkungan dimana konsep Strict liability dapat diterapkan.[3]
Beberapa kasus mengenai lemahnya prinsip Strict liability diantaranya adalah :
- The Union Carbide Plant, Bhopal, India 1984
- The Union Carbide Plant, Bhopal, India 1984
Sebuah pabrik pestisida di Bhopal, India yang dengan sengaja merilis sekitar 40 ton metric isosianat metil ke atmosfer. Akibat kelalaian ini berdampak sangat parah dengan perkiraan korban sekitar 2000 orang, 100.000 luka-luka, 50.000 lebih warga yang cacat sebagian dan seluruhnya.[4]
- Niigata Minimata Disease, japan in 1965
Sebuah pabrik yang membuang limbah berupa zat Metil Merkuri yang menyebabkan polusi udara berisi lebih dari 4.000 jenis racun yang salah satunya bernama Bioaccumulative Toxicant. Banyak warga yang terkena zat ini merasakan mati rasa di tangan dan kakinya, kelumpuhan, kegilaan, koma bahkan kematian.[5]
Sementara itu beberapa kasus di Indonesia salah satunya :
- Kasus PT IntiIndorayon di Sumatra Utara
PT. IIU saat didirikan pada 1983, dan mendapat Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI) seluas 269.000 hektar. Namun pelaksanaanya tidak seperti yang digambarkan, karena dampak lingkungannya sangat besar seperti penurunan permukaan air danau yang berdampak negative terhadap penggunaan air oleh nelayan, pariwisata, pengusaha transportasi, dan semua pihak yang mencari nafkah yang erat hubungannya dengan keberadaan Danau Toba.[6]
- PT Freeport McMoran Indonesia
Freeport melakukan aktivitas penambangan di Papua yang dimulai sejak tahun 1967. Sampai Bulan Juli 2005, lubang yang diakibatkan penambangan Grasberg mencapai diameter 2,4 kilometer yang meliputi luas 499 ha, dalamnya 800m, sama dengan ketinggian gedung tertinggi di dunia Burj Dubai. Masalah yang timbul dari aktivitas Freeport yang berlangsung dalam kurun waktu lama ini diantaranya penerimaan negara yang tidak optimal dan peran negara/BUMN untuk ikut mengelola tambang yang sangat minim serta dampak lingkungan yang luarbiasa. Kerusakan bentang alam seluas 166 km persegi di DAS sungai Ajkwa yang meliputi pengunungan Grasberg dan Ersberg. berupa rusaknya bentang alam pegunungan Grasberg dan Erstberg.[7]
Apabila prinsip Strict liability ini benar-benar dapat ditegakkan akan memberikan manfaat yang antara lain adalah :
- Pelaku usaha yang melakukan kegiatan usaha berdampak luar biasa besarnya, akan lebih bertanggungjawab. Tidak hanya bertanggungjawab terhadap warga setempat tetapi juga terhadap dampak lingkungan.
- Pemberlakuan amdal dan sistem audit akan lebih terarah dan terpadu untuk proyek-proyek pembangunan dan rencana kebijakan. Mencegah kerancuan amdal yang berdampak pada penggunaan baku mutu lingkungan yang tidak efektif dan efisien.
- Strict liability juga mampu memberikan keefektifitasan kepada kebijakan-kebijakan yang dirumuskan dalam mendukung konsep pembangunan yang berkelanjutan serta pendayagunaan instrumen ekonomi yang tidak hanya sekedar himbauan tetapi sebagai perintah yang wajib ditaati oleh pelaku usaha.
- Serta dapat memberikan jaminan kepada masyarakat untuk mendapatkan informasi Amdal, audit lingkungan, hasil pemantauan dan informasi tentang produksi lebih jauh, serta penggunaan dan pengolahan limbah maupun bahan beracun dan berbahaya. Sehingga, diharapkan masyarakat tidak menanggung konsekuensi di kemudian hari akibat kelalaian pelaku usaha yang tidak mengindahkan prinsip Strict liability. Dalam hal ini peran pemerintah amat sangat dibutuhkan dalam penjaminan dan perlindungan hukum bagi warga negaranya.[8]
D. Penutup
Kesimpulan
- Pelaku usaha yang melakukan kegiatan usaha berdampak luar biasa besarnya, akan lebih bertanggungjawab. Tidak hanya bertanggungjawab terhadap warga setempat tetapi juga terhadap dampak lingkungan.
- Pemberlakuan amdal dan sistem audit akan lebih terarah dan terpadu untuk proyek-proyek pembangunan dan rencana kebijakan. Mencegah kerancuan amdal yang berdampak pada penggunaan baku mutu lingkungan yang tidak efektif dan efisien.
- Strict liability juga mampu memberikan keefektifitasan kepada kebijakan-kebijakan yang dirumuskan dalam mendukung konsep pembangunan yang berkelanjutan serta pendayagunaan instrumen ekonomi yang tidak hanya sekedar himbauan tetapi sebagai perintah yang wajib ditaati oleh pelaku usaha.
- Serta dapat memberikan jaminan kepada masyarakat untuk mendapatkan informasi Amdal, audit lingkungan, hasil pemantauan dan informasi tentang produksi lebih jauh, serta penggunaan dan pengolahan limbah maupun bahan beracun dan berbahaya. Sehingga, diharapkan masyarakat tidak menanggung konsekuensi di kemudian hari akibat kelalaian pelaku usaha yang tidak mengindahkan prinsip Strict liability. Dalam hal ini peran pemerintah amat sangat dibutuhkan dalam penjaminan dan perlindungan hukum bagi warga negaranya.[8]
D. Penutup
Kesimpulan
Konsep pembangunan berwawasan lingkungan hidup juga mengamanatkan agar pengelolaan lingkungan hidup tidak lagi dilakukan dengan kualitas yang seadanya, namun menuntut kualitas pengelolaan yang prima dan optimal dengan menggunakan segenap sumber daya yang ada untuk mencapat tujuan pembangunan berkelanjutan (sustainable development).
Sehubungan dengan hal tersebut, perlu dilakukan berbagai upaya pencegahan dan penanggulangan pencemaran agar pelaksanaan pembangunan dapat mencapai sasaran yang telah digariskan.
Dalam konteks ini, pembangunan bidang lingkungan hidup hanya dapat berhasil apabila pelaksanaan dan penegakan hukum dan peraturan perundang-undangan dalam bidang lingkungan hidup, berjalan dan ditegakkan secara efektif dimana salah satu unsur yang sangat penting dalam kaitan ini adalah penerapan Tanggung Jawab Mutlak (Strict Liability) terhadap pelaku pencemaran lingkungan hidup.
[1] I Made Arya Utama, S.H.,M.H, Hukum Lingkungan, Sistem Hukum Perizinan Berwawasan Lingkungan, Cet. Ke-1, Penerbit Pustaka Sutra, Bandung.2007, hal.74.
[2] Silalahi Daud, Hukum Lingkungan dalam sistem penegakan hukum lingkunganIndonesia, Alumni, bandung, 1996,hal.16
[3] HukumOnline.com - http://202.153.129.35/berita/baca/lt4d4cfdf858312/konsep-strict-liability-belum-pernah-terpakai
[4] "TED Case Studies: Bhopal Disaster," Trade and the Environment Database, 1996
[5] Ahni. 2009. Former Canadian Prime Minister Suppressed Mercury Studies, (http://intercontinentalcry.org/former-canadian-prime-minister-suppressed-mercury-studies/, diakses 4 April 2011).
[6] Ir.H. Roikhan.MA, MM. 2009. PT. Inti Indorayon Utama dan Danau Toba, (http://yantimutiara.blogspot.com/2009/07/pt-inti-indorayon-utama-dan-danau-toba.html, diakses 4 April 2011).
[7] http://arki-papua.blogspot.com/2010/08/inilah-fakta-freeport-merugikan-bangsa.html
[8] Republik Indonesia. 1945. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 – Amandemen ke-2. Pasal 28A-28J.
[1] I Made Arya Utama, S.H.,M.H, Hukum Lingkungan, Sistem Hukum Perizinan Berwawasan Lingkungan, Cet. Ke-1, Penerbit Pustaka Sutra, Bandung.2007, hal.74.
[2] Silalahi Daud, Hukum Lingkungan dalam sistem penegakan hukum lingkunganIndonesia, Alumni, bandung, 1996,hal.16
[3] HukumOnline.com - http://202.153.129.35/berita/baca/lt4d4cfdf858312/konsep-strict-liability-belum-pernah-terpakai
[4] "TED Case Studies: Bhopal Disaster," Trade and the Environment Database, 1996
[5] Ahni. 2009. Former Canadian Prime Minister Suppressed Mercury Studies, (http://intercontinentalcry.org/former-canadian-prime-minister-suppressed-mercury-studies/, diakses 4 April 2011).
[6] Ir.H. Roikhan.MA, MM. 2009. PT. Inti Indorayon Utama dan Danau Toba, (http://yantimutiara.blogspot.com/2009/07/pt-inti-indorayon-utama-dan-danau-toba.html, diakses 4 April 2011).
[7] http://arki-papua.blogspot.com/2010/08/inilah-fakta-freeport-merugikan-bangsa.html
[8] Republik Indonesia. 1945. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 – Amandemen ke-2. Pasal 28A-28J.